Kak, Guna-guna itu dari Banten!
Oleh
Siti Robiah
“Siapa itu, Kak?”
“Fikri, Bu. Temen kuliah.”
“Orang mana?”
“Banten.”
Ibu tersentak. Aku
sedang membuatkan Fikri teh hangat di dapur ketika ibu mendekat dan bertanya.
Aku sedikit bingung dengan reaksi ibu yang tak biasa. Rasanya, bukan baru kali
ini aku mengajak teman laki-laki ke rumah. Akan tetapi, reaksi ibu yang sangat
aneh baru kulihat hari ini.
“Kenapa, Bu?”
“Kakak nggak pacaran kan sama dia?” muka ibu
tampak berkerut. Matanya terus menatap, menunggu kepastian jawabanku.
“Lho, Ibu kenapa sih?
Itu temen Kakak, dia yang bantuin
penelitian Kakak kemarin di Banten. Kakak kan nggak tau Banten, makanya
Kakak minta tolong sama Fikri. Lumayan kan Bu, nggak perlu sewa pemandu,” jawabku sambil mengerling. Kulewati ibu
yang masih tampak kusut di dapur sementara aku mengantarkan minuman untuk Fikri
di ruang tamu.
Fikri memang baru
pertama kali bertamu ke rumahku. Lagipula kedatangannya ke rumah bukan untuk
mengajakku berkencan seperti yang dipikirkan ibu. Ia khusus mengantarkan
foto-foto yang pernah kami ambil saat di
Banten.
“Waaah...udah dicetak nih?” seruku senang. Kulihat
satu persatu lembaran foto yang dibawa Fikri.
“Bagus-bagus kan? Siapa
dulu yang nyetak..” jawab Fikri
sombong ketika dilihatnya aku begitu berbinar melihat foto-foto di tangan
seperti melihat tumpukan emas berlian dalam peti harta karun.
“Ini bukan karena kamu
yang nyetak, tapi karena kamera aku emang bagus. Kamera mahal tuh! Hadiah
dari alamarhum ayah,” mataku masih terus tertuju pada lembaran-lembaran foto
itu dengan takjub.
***
“Kak Rismaaa, dipanggil
Ibu!!” suara Aris, adikku, membahana di seisi rumah. Aku tengah asyik memilah
foto-foto yang akan kutempel dalam laporan penelitianku di kamar. Beberapa foto
yang menarik perhatianku adalah foto seorang anak yang sedang melakukan atraksi
berbahaya. Ia memakai pakaian serba hitam dengan kepala diikat kain batik
tengah menggigit bara api. Foto lainnya memperlihatkan lelaki setengah baya
yang sedang mengiris tubuhnya sendiri dengan golok panjang yang mengkilat. Foto
ini diambil saat ada pertunjukan debus di pelataran rumah warga yang sedang
melangsungkan pernikahan. Ada juga foto salah satu lelaki baduy tua yang sedang duduk di serambi rumah
panggungnya yang berbilik bambu. Ada anak lelaki kecil yang tersenyum manis
sedang duduk di teras bambu rumah panggungnya, kakinya menggantung tak sampai
ke tanah dan disebelahnya seorang ibu tengah serius menenun kain dengan
peralatan tenun sederhana. Pemandangan yang belum pernah aku lihat secara
langsung. Kalau di TV, pastinya aku sudah pernah lihat pemandangan ini
sebelumnya dalam sebuah acara yang bertajuk pengenalan budaya Indonesia.
“Kak Rismaaa!!!” suara
Aris lagi. Aku segera beranjak dari
kamar dan membiarkan foto-foto
itu berserakan di tempat tidur.
“Kak Risma lagi ngapain sih?” tepat saat kubuka pintu
kamar, Aris sudah berada di hadapanku.
“Ada deh, mau tauuu
aja,” ledekku.
“Dipanggil ibu di
bawah. Emang nggak kedengeran ya, aku
manggil-manggil dari tadi,” kata Aris kesal.
Kuhiraukan Aris yang
sedang kesal, dan segera menuruni tangga. Kudekati Ibu di ruang tengah yang sedang menonton
televisi.
“Ada apa sih, Bu?”
“Duduk dulu sini!” ibu
menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
Sesaat kami terdiam.
Aku menunggu ibu bersuara. Setelah ibu mematikan televisi, kini wajahnya
menatap tepat di wajahku.
“Kamu inget nggak, Kak, kenapa ayah meninggal?”
tanya ibu.
Aku tidak mengerti arah pertanyaan ibu.
Mengapa tiba-tiba ibu mengungkit tentang meninggalnya ayah yang sudah berlalu
satu tahun lebih.
“Ayah sakit muntaber.
Begitu kan kata dokter?” jawabku.
“Ayah paling anti
kuman. Ia tidak suka makan di pinggir jalan. Ia selalu mengganti pakaian bahkan
kaus kakinya setiap hari. Tidak pernah sekalipun ayah alpa gosok gigi sebelum
tidur, cuci tangan dengan sabun sebelum makan, mengganti sprei dua hari sekali.
Ayah juga tidak suka makanan cepat saji, ia lebih suka makan sayur buatan ibu,
ayam yang dipotongnya sendiri, dan buah-buahan yang ada di kebun belakang
rumah. Rasanya mustahil ayah terkena muntaber,” mata ibu menerawang, menguras
segala ingatan tentang ayah.
“Tapi dokter kan nggak mungkin bohongin kita. Ibu ingat
kan bagaimana ayah bolak-balik ke kamar mandi untuk muntah dan buang air
besar?”
Ibu terlihat menggeleng
pelan sambil memiringkan sebelah bibirnya seperti senyum sinis. Ibu ternyata
masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ayah harus pergi selamanya.
“Ibu penasaran waktu
itu,” kata ibu kemudian, “ibu tanya dokter yang merawat ayah. Katanya, dari
gejalanya memang seperti muntaber tapi anehnya dalam cairan muntahan ayah yang
berupa darah itu terdapat jarum-jarum kecil dan tipis seperti rambut. Dokter
berusaha memeriksa asal-muasal benda itu, tapi tak berhasil ditemukan. Dalam
hasil rontgen pun, tak ada tanda-tanda keberadaan benda itu.”
“Ibu nggak pernah cerita soal itu ke Kakak.
Dokter Ilham juga cuma bilang ayah sakit muntaber,” kataku tak percaya.
“Ibu yang minta pada
dokter untuk merahasiakan ini. Ibu nggak
mau kejadian ini diketahui orang banyak.”
“Terus maksud ibu
menceritakan ini sama Kakak apa?”
“Ibu nggak yakin ayah benar-benar kena
muntaber,” kata ibu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Menurut ibu ayah
pasti terkena guna-guna. Ada orang yang sirik atau iri dengan kesuksesan yang
diraih ayah. Aku hanya tahu ayah memang pengusaha ikan yang sukses, itu saja.
Selebihnya aku tak terlalu paham. Bagaimana proses pemeliharaan ikan, mencari
pelanggan, atau apapun yang berkaitan dengan bisnis ayah, aku tak banyak tahu.
Akan tetapi, kesuksesan itulah yang membuat para pesaing ayah pasang badan untuk
menghancurkan bisnisnya. Ibu juga mengatakan kalau penyakit ayah adalah kiriman
gaib dari pesaing ayah.
“Ibu yakin?” tanyaku.
Saat itulah kulihat ibu mengangguk dengan mantapnya.
“Orang Banten!” kata
ibu geram.
“Maksud ibu?” terkejut
juga aku karena ibu membawa-bawa nama Banten.
“Yang mengirim penyakit
aneh itu orang Banten. Entah itu pesaing ayah atau orang suruhannya, yang pasti
guna-guna itu dikirim dari Banten.”
“Ibu tahu dari mana?”
“Paranormal,” jawab ibu
singkat.
“Ibu percaya
paranormal?” tanyaku kaget, “ini tahun 2012, Bu. Orang sudah sampai ke bulan naik pesawat luar angkasa bukan lagi pakai
burung buroq pada zaman Nabi Muhammad. Semua ada bukti fisiknya. Kalau penyakit
kiriman, siapa nama pengirimnya, lewat kantor pos mana? Atau lewat paket JNE?
Tiki mungkin? Atau...”
“Risma!!” potong ibu
ketus, “bukti fisik itu hanya untuk material fisik. Hal-hal gaib tidak bisa
dibuktikan dengan bukti fisik. Kalau dokter bisa menyembuhkan penyakit yang
terlihat, maka ada paranormal yang bisa menerawang penyakit yang berasal dari
gaib. Mereka itu dokter juga, tapi untuk hal yang tak bisa tersentuh oleh
indra.”
Ingin rasanya tak
percaya dengan ucapan ibu, tapi hati kecil seakan membenarkan kata-kata ibu.
Aku segera menghambur dari hadapannya, menaiki tangga dengan tergesa menuju
kamar. Aku baru sadar, tadi adalah kali pertama sejak Aris dilahirkan, ibu
kembali memanggil namaku dengan lantangnya.
***
Sorenya kuhampiri ibu
yang tengah menyiram tanaman di halaman depan. Ada sesuatu yang mengganjal
hatiku dan kupikir ini ada hubungannya dengan Fikri.
“Bu, ada yang Kakak mau
bicarakan sama ibu,” kataku pelan, khawatir ibu masih menyimpan marahnya
padaku. Ibu lekas menghentikan pekerjaannya. Dimatikannya keran air dan
meletakkan selang di sebelahnya.
“Ada apa, Kak?” kata
ibu sambil duduk di kursi anyaman bambu di teras kami.
“Soal tadi siang, Kakak minta maaf.
Kakak hanya nggak mau ibu terlarut
dalam luka masa lalu dan menyimpan dendam pada orang yang salah. Kalau menurut
ibu ayah meninggal karena diguna-guna oleh kekuatan yang berasal dari Banten,
Kakak nggak mau ibu jadi membenci
semua orang Banten, termasuk Fikri.”
“Ibu nggak pernah benci Fikri, ibu hanya
takut kamu...”
“Bu...ketakutan ibu
berlebihan. Banten tidak seperti yang ibu pikir. Kakak dua minggu di sana untuk
penelitian, tapi coba lihat, Kakak baik-baik saja. Banten itu indah, Bu. Kapan-kapan
ibu harus ke sana. Kakak pernah diajak Fikri ke Pantai Bagedur. Pantainya
indah, pasir putih yang menghampar hmmm... membuat kita tak ingin beralih
melihat pemandangan lain. Apalagi tumbuhan perdu dan pohon kelapa yang
mengelilingi pantai, uuhh...sejuknya Bu..dahsyat deh!” kataku berbinar mencoba
menepis pikiran negatif ibu tentang Banten. Ibu masih terdiam. Ia sama sekali
tak tertarik dengan ceritaku.
“Kalau begitu, besok
Kakak ajak Fikri ke rumah, biar ibu dengar sendiri ceritanya dari orang Banten
asli. Gimana?” tanyaku antusias. Tak disangka, ibu setuju.
***
“Nak Fikri asli dari
Banten?” ibu membuka percakapan. Sepulang kuliah sengaja kuajak Fikri ke rumah.
Tidak kuceritakan kejadian kemarin padanya, biar saja ibu dan Fikri yang
menyimpulkan semua. Kuletakkan segelas es teh manis untuk Fikri dan teh pahit
hangat untuk ibu di atas meja kemudian aku bergabung, duduk di samping ibu
dengan manja.
“Iya, Bu. Lahir dan
besar di Banten tapi kebetulan lulus seleksi kuliahnya di sini,” sahut Fikri
sopan.
“Kalau denger nama Banten, kayaknya gimana gitu ya...” ibu mulai melancarkan sindirannya. Aku
tak ikut bicara. Aku yakin Fikri pasti bisa menjawabnya.
Fikri tertawa kecil. “Awalnya saya juga
sempat malu mengakui kalau saya dari Banten. Ya...mengingat cerita negatif yang
merasuk dalam pikiran masyarakat. Tapi justru karena itu, sayalah yang
berkewajiban meluruskan semuanya pada semua orang bahwa Banten tidak seburuk
yang mereka pikir,” jawab Fikri mantap.
“Tapi, masyarakat sudah
terlanjur berpikir kalau Banten adalah daerah yang masyarkatnya keras, penuh
mistik, sangar, dan semua cerita miring lainnya. Tidak mudah mengubah pola pikir mereka, apalagi orang-orang yang memang
pernah terlibat langsung dengan pengalaman yang tidak enak dengan Banten dan
yang mengelilinginya,” kata ibu lagi.
Fikri tersenyum kecil,
“Karena mereka belum tahu, Bu. Jadi wajar saja...”
“Lalu?”
“Menurut saya, anggapan
itu mungkin muncul ketika mereka melihat atraksi khas debus yang memperlihatkan
kekejaman, volume suara masyarakat yang cenderung berteriak, atau mungkin juga
karena senjata khas daerah kami yang berupa golok tebal. Tapi semua itu punya
maksud tersendiri.”
“Volume suara masyarakat
yang keras dilatarbelakangi oleh faktor lingkungannya. Beberapa daerah di
Banten dikelilingi pegunungan, ditambah jarak antar rumah yang relatif jauh.
Secara logika, kalau kita bicara pelan siapa yang mau dengar?”
Fikri menghela nafas,
“Kalau diperhatikan debus sebenarnya juga memperlihatkan pada kita bagaimana
cara bertahan bukan menyerang, jadi tidak ada unsur kekejaman di dalamnya. Semua
didesain untuk mempertahankan diri termasuk golok yang dibuat pendek dan tebal.
Senjata khas itu sebenarnya untuk membantu
petani membuka lahan pertanian. Kalau dibandingkan dengan senjata khas
lain, keris misalnya yang dapat mengacak-acak isi perut, tentu saja alat itu tidak
bisa digunakan untuk menebang pohon. Tapi Bu, saya tidak bermaksud menjelekkan
daerah lain, ini hanya perbandingan agar orang-orang tahu bahwa semua itu punya
maksud dan tujuan.”
“Bagaimana dengan
guna-guna?” kata ibu, “orang sering berpikir kalau santet, guna-guna,
pesugihan, semua berasal dari Banten.”
“Nggak ada yang tahu darimana asal-muasal itu semua, tapi masa lalu
yang hitam tentang Banten membuat semua itu seakan menempel jadi satu paket,
Bu. Tidak semua orang Banten mengerti cara-cara ilmu hitam seperti itu. Kami
ini hidup dalam lingkungan religius. Ibu tahu, orang-orang yang memiliki
keahlian kekebalan dalam debus atau pencak silat harus memenuhi banyak syarat,
dan yang paling utama mereka harus punya iman yang kuat dan yakin pada ajaran
Islam. Pantang bagi mereka minum minuman keras, judi, bermain wanita, apalagi
mencuri. Jadi, dari luar saja mereka terlihat angker dan kejam, namun di
dalamnya mereka punya kekuatan iman yang luar biasa.”
Ibu hanya mengangguk,
entah setuju atau sedang mencari celah untuk menyerang Fikri dengan pertanyaan
berikutnya. Tetapi, sejenak kami tenggelam dalam diam. Untuk mencairkan suasana
kupersilakan Fikri menyeruput es tehnya.
“Diminum, Fik. Haus
kan? Jangan pura-pura deh...”
“Hehe...tau aja kamu, Ris,” kata Fikri sambil
menyeruput esnya sampai tandas.
“Wah...haus beneran nih
temen kamu, Ris” kata ibu terkekeh.
Aku sampai terkejut mendengarnya. Tatapan sinisnya mulai sirna dari wajah ibu.
“Seandainya saja ada
teman kamu yang terkena teluh atau guna-guna yang ternyata kiriman dari Banten,
apa yang kamu lakukan?” tanya ibu tiba-tiba, membuat wajahku kembali tegang.
Anehnya Fikri tetap terlihat santai.
“Yang pasti bukan saya
yang kirim, Bu...hehehe” jawabnya.
“Bagaimana kalau
teman-temanmu memusuhi karena asalmu dari Banten, markasnya guna-guna, santet,
dan teluh?”
Kali ini Fikri seperti
berpikir keras. Wajahnya sedikit sendu mendengar pertanyaan ibu.
“Teman-teman saya
semuanya cerdas, Bu. Saya yakin mereka tidak akan memusuhi saya hanya karena
saya berasal dari Banten. Seseorang kan dinilai dari akhlak dan perilakunya
bukan asal-muasalnya. Kalau ada orang iseng yang berbuat jahat dengan melakukan
penyimpangan terhadap ilmu yang dia punya, bukan berarti semua orang Banten
seperti itu kan, Bu?”
Ibu terdiam, kemudian
kata Fikri lagi, “Hanya orang-orang yang berhati miskin saja yang menilai seseorang
dari asal mereka.” Kali ini wajah ibu memerah.
“Lagipula, Bu, suatu
ketika Banten akan menjadi kota yang sangat dinanti masyarakat.”
“Maksudnya?” kataku
ikut bicara karena ibu terus terdiam.
“Suatu hari nanti orang
akan sadar betapa Banten memiliki kekayaan yang tak ternilai. Mereka tidak akan
lagi melihat Banten dari sisi yang gelap. Lihat saja, kami punya suku Baduy yang
adat-istiadat bahkan kehidupannya tidak berubah dari zaman dahulu. Bukannya
mereka primitif dan tak mau maju, tapi mereka adalah penyeimbang. Ketika kita
terlarut dalam arus modernisasi kebudayaan barat maka mereka menjadi cermin
untuk membawa kita agar melihat bagaimana dan darimana kita berasal.”
“Suatu hari nanti akan
banyak bermunculan orang-orang jenius yang berasal dari Banten. Banten akan
maju dengan keprimitifannya dalam berbudaya, akan terkenal dengan segala
kearifannya menjaga alam, dan akan dirindukan karena masyarakatnya yang
senantiasa terbuka.”
Kuperhatikan lagi riak
wajah ibu. Tak ada gejolak atau pertentangan. Semua datar, dan aku tak tahu
artinya. Kemudian ibu berpamitan untuk istirahat, namun sebelumnya sempat
berkata sambil tersenyum, “Semoga Bantenmu kelak seperti yang kamu harapkan,
Nak Fikri.” Aku dan Fikri ikut tersenyum.
***
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar