Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Senin, 12 November 2012

Cerpen Lomba Menulis 'Banten Muda'


Kak, Guna-guna itu dari Banten!
Oleh Siti Robiah
“Siapa itu, Kak?”
“Fikri, Bu. Temen kuliah.”
“Orang mana?”
“Banten.”
Ibu tersentak. Aku sedang membuatkan Fikri teh hangat di dapur ketika ibu mendekat dan bertanya. Aku sedikit bingung dengan reaksi ibu yang tak biasa. Rasanya, bukan baru kali ini aku mengajak teman laki-laki ke rumah. Akan tetapi, reaksi ibu yang sangat aneh baru kulihat hari ini.
“Kenapa, Bu?”
“Kakak nggak pacaran kan sama dia?” muka ibu tampak berkerut. Matanya terus menatap, menunggu kepastian jawabanku.
“Lho, Ibu kenapa sih? Itu temen Kakak, dia yang bantuin penelitian Kakak kemarin di Banten. Kakak kan nggak tau Banten, makanya Kakak minta tolong sama Fikri. Lumayan kan Bu, nggak perlu sewa pemandu,” jawabku sambil mengerling. Kulewati ibu yang masih tampak kusut di dapur sementara aku mengantarkan minuman untuk Fikri di ruang tamu.
Fikri memang baru pertama kali bertamu ke rumahku. Lagipula kedatangannya ke rumah bukan untuk mengajakku berkencan seperti yang dipikirkan ibu. Ia khusus mengantarkan foto-foto  yang pernah kami ambil saat di Banten.
“Waaah...udah dicetak nih?” seruku senang. Kulihat satu persatu lembaran foto yang dibawa Fikri.
“Bagus-bagus kan? Siapa dulu yang nyetak..” jawab Fikri sombong ketika dilihatnya aku begitu berbinar melihat foto-foto di tangan seperti melihat tumpukan emas berlian dalam peti harta karun.
“Ini bukan karena kamu yang nyetak, tapi karena kamera aku emang bagus. Kamera mahal tuh! Hadiah dari alamarhum ayah,” mataku masih terus tertuju pada lembaran-lembaran foto itu dengan takjub.
***
“Kak Rismaaa, dipanggil Ibu!!” suara Aris, adikku, membahana di seisi rumah. Aku tengah asyik memilah foto-foto yang akan kutempel dalam laporan penelitianku di kamar. Beberapa foto yang menarik perhatianku adalah foto seorang anak yang sedang melakukan atraksi berbahaya. Ia memakai pakaian serba hitam dengan kepala diikat kain batik tengah menggigit bara api. Foto lainnya memperlihatkan lelaki setengah baya yang sedang mengiris tubuhnya sendiri dengan golok panjang yang mengkilat. Foto ini diambil saat ada pertunjukan debus di pelataran rumah warga yang sedang melangsungkan pernikahan. Ada juga foto salah satu lelaki baduy  tua yang sedang duduk di serambi rumah panggungnya yang berbilik bambu. Ada anak lelaki kecil yang tersenyum manis sedang duduk di teras bambu rumah panggungnya, kakinya menggantung tak sampai ke tanah dan disebelahnya seorang ibu tengah serius menenun kain dengan peralatan tenun sederhana. Pemandangan yang belum pernah aku lihat secara langsung. Kalau di TV, pastinya aku sudah pernah lihat pemandangan ini sebelumnya dalam sebuah acara yang bertajuk pengenalan budaya Indonesia.
“Kak Rismaaa!!!” suara Aris lagi. Aku segera beranjak dari  kamar dan membiarkan  foto-foto itu berserakan di tempat tidur.
“Kak Risma lagi ngapain sih?” tepat saat kubuka pintu kamar, Aris sudah berada di hadapanku.
“Ada deh, mau tauuu aja,” ledekku.
“Dipanggil ibu di bawah. Emang nggak kedengeran ya, aku manggil-manggil dari tadi,” kata Aris kesal.
Kuhiraukan Aris yang sedang kesal, dan segera menuruni tangga. Kudekati  Ibu di ruang tengah yang sedang menonton televisi.
“Ada apa sih, Bu?”
“Duduk dulu sini!” ibu menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
Sesaat kami terdiam. Aku menunggu ibu bersuara. Setelah ibu mematikan televisi, kini wajahnya menatap tepat di wajahku.
“Kamu inget nggak, Kak, kenapa ayah meninggal?” tanya ibu.
Aku tidak mengerti arah pertanyaan ibu. Mengapa tiba-tiba ibu mengungkit tentang meninggalnya ayah yang sudah berlalu satu tahun lebih.
“Ayah sakit muntaber. Begitu kan kata dokter?” jawabku.
“Ayah paling anti kuman. Ia tidak suka makan di pinggir jalan. Ia selalu mengganti pakaian bahkan kaus kakinya setiap hari. Tidak pernah sekalipun ayah alpa gosok gigi sebelum tidur, cuci tangan dengan sabun sebelum makan, mengganti sprei dua hari sekali. Ayah juga tidak suka makanan cepat saji, ia lebih suka makan sayur buatan ibu, ayam yang dipotongnya sendiri, dan buah-buahan yang ada di kebun belakang rumah. Rasanya mustahil ayah terkena muntaber,” mata ibu menerawang, menguras segala ingatan tentang ayah.
“Tapi dokter kan nggak mungkin bohongin kita. Ibu ingat kan bagaimana ayah bolak-balik ke kamar mandi untuk muntah dan buang air besar?”
Ibu terlihat menggeleng pelan sambil memiringkan sebelah bibirnya seperti senyum sinis. Ibu ternyata masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ayah harus pergi selamanya.
“Ibu penasaran waktu itu,” kata ibu kemudian, “ibu tanya dokter yang merawat ayah. Katanya, dari gejalanya memang seperti muntaber tapi anehnya dalam cairan muntahan ayah yang berupa darah itu terdapat jarum-jarum kecil dan tipis seperti rambut. Dokter berusaha memeriksa asal-muasal benda itu, tapi tak berhasil ditemukan. Dalam hasil rontgen pun, tak ada tanda-tanda keberadaan benda itu.”
“Ibu nggak pernah cerita soal itu ke Kakak. Dokter Ilham juga cuma bilang ayah sakit muntaber,” kataku tak percaya.
“Ibu yang minta pada dokter untuk merahasiakan ini. Ibu nggak mau kejadian ini diketahui orang banyak.”
“Terus maksud ibu menceritakan ini sama Kakak apa?”
“Ibu nggak yakin ayah benar-benar kena muntaber,” kata ibu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Menurut ibu ayah pasti terkena guna-guna. Ada orang yang sirik atau iri dengan kesuksesan yang diraih ayah. Aku hanya tahu ayah memang pengusaha ikan yang sukses, itu saja. Selebihnya aku tak terlalu paham. Bagaimana proses pemeliharaan ikan, mencari pelanggan, atau apapun yang berkaitan dengan bisnis ayah, aku tak banyak tahu. Akan tetapi, kesuksesan itulah yang membuat para pesaing ayah pasang badan untuk menghancurkan bisnisnya. Ibu juga mengatakan kalau penyakit ayah adalah kiriman gaib dari pesaing ayah.
“Ibu yakin?” tanyaku. Saat itulah kulihat ibu mengangguk dengan mantapnya.
“Orang Banten!” kata ibu geram.
“Maksud ibu?” terkejut juga aku karena ibu membawa-bawa nama Banten.
“Yang mengirim penyakit aneh itu orang Banten. Entah itu pesaing ayah atau orang suruhannya, yang pasti guna-guna itu dikirim dari Banten.”
“Ibu tahu dari mana?”
“Paranormal,” jawab ibu singkat.
“Ibu percaya paranormal?” tanyaku kaget, “ini tahun 2012, Bu. Orang sudah sampai ke bulan naik pesawat luar angkasa bukan lagi pakai burung buroq pada zaman Nabi Muhammad. Semua ada bukti fisiknya. Kalau penyakit kiriman, siapa nama pengirimnya, lewat kantor pos mana? Atau lewat paket JNE? Tiki mungkin? Atau...”
“Risma!!” potong ibu ketus, “bukti fisik itu hanya untuk material fisik. Hal-hal gaib tidak bisa dibuktikan dengan bukti fisik. Kalau dokter bisa menyembuhkan penyakit yang terlihat, maka ada paranormal yang bisa menerawang penyakit yang berasal dari gaib. Mereka itu dokter juga, tapi untuk hal yang tak bisa tersentuh oleh indra.”
Ingin rasanya tak percaya dengan ucapan ibu, tapi hati kecil seakan membenarkan kata-kata ibu. Aku segera menghambur dari hadapannya, menaiki tangga dengan tergesa menuju kamar. Aku baru sadar, tadi adalah kali pertama sejak Aris dilahirkan, ibu kembali memanggil namaku dengan lantangnya.
***
Sorenya kuhampiri ibu yang tengah menyiram tanaman di halaman depan. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku dan kupikir ini ada hubungannya dengan Fikri.
“Bu, ada yang Kakak mau bicarakan sama ibu,” kataku pelan, khawatir ibu masih menyimpan marahnya padaku. Ibu lekas menghentikan pekerjaannya. Dimatikannya keran air dan meletakkan selang di sebelahnya.
“Ada apa, Kak?” kata ibu sambil duduk di kursi anyaman bambu di teras kami.
“Soal tadi siang, Kakak minta maaf. Kakak hanya nggak mau ibu terlarut dalam luka masa lalu dan menyimpan dendam pada orang yang salah. Kalau menurut ibu ayah meninggal karena diguna-guna oleh kekuatan yang berasal dari Banten, Kakak nggak mau ibu jadi membenci semua orang Banten, termasuk Fikri.”
“Ibu nggak pernah benci Fikri, ibu hanya takut kamu...”
“Bu...ketakutan ibu berlebihan. Banten tidak seperti yang ibu pikir. Kakak dua minggu di sana untuk penelitian, tapi coba lihat, Kakak baik-baik saja. Banten itu indah, Bu. Kapan-kapan ibu harus ke sana. Kakak pernah diajak Fikri ke Pantai Bagedur. Pantainya indah, pasir putih yang menghampar hmmm... membuat kita tak ingin beralih melihat pemandangan lain. Apalagi tumbuhan perdu dan pohon kelapa yang mengelilingi pantai, uuhh...sejuknya Bu..dahsyat deh!” kataku berbinar mencoba menepis pikiran negatif ibu tentang Banten. Ibu masih terdiam. Ia sama sekali tak tertarik dengan ceritaku.
“Kalau begitu, besok Kakak ajak Fikri ke rumah, biar ibu dengar sendiri ceritanya dari orang Banten asli. Gimana?” tanyaku antusias. Tak disangka, ibu setuju.
***
“Nak Fikri asli dari Banten?” ibu membuka percakapan. Sepulang kuliah sengaja kuajak Fikri ke rumah. Tidak kuceritakan kejadian kemarin padanya, biar saja ibu dan Fikri yang menyimpulkan semua. Kuletakkan segelas es teh manis untuk Fikri dan teh pahit hangat untuk ibu di atas meja kemudian aku bergabung, duduk di samping ibu dengan manja.
“Iya, Bu. Lahir dan besar di Banten tapi kebetulan lulus seleksi kuliahnya di sini,” sahut Fikri sopan.
“Kalau denger nama Banten, kayaknya gimana gitu ya...” ibu mulai melancarkan sindirannya. Aku tak ikut bicara. Aku yakin Fikri pasti bisa menjawabnya.
Fikri tertawa kecil. “Awalnya saya juga sempat malu mengakui kalau saya dari Banten. Ya...mengingat cerita negatif yang merasuk dalam pikiran masyarakat. Tapi justru karena itu, sayalah yang berkewajiban meluruskan semuanya pada semua orang bahwa Banten tidak seburuk yang mereka pikir,” jawab Fikri mantap.
“Tapi, masyarakat sudah terlanjur berpikir kalau Banten adalah daerah yang masyarkatnya keras, penuh mistik, sangar, dan semua cerita miring lainnya. Tidak mudah mengubah pola pikir mereka, apalagi orang-orang yang memang pernah terlibat langsung dengan pengalaman yang tidak enak dengan Banten dan yang mengelilinginya,” kata ibu lagi.
Fikri tersenyum kecil, “Karena mereka belum tahu, Bu. Jadi wajar saja...”
“Lalu?”
“Menurut saya, anggapan itu mungkin muncul ketika mereka melihat atraksi khas debus yang memperlihatkan kekejaman, volume suara masyarakat yang cenderung berteriak, atau mungkin juga karena senjata khas daerah kami yang berupa golok tebal. Tapi semua itu punya maksud tersendiri.”
“Volume suara masyarakat yang keras dilatarbelakangi oleh faktor lingkungannya. Beberapa daerah di Banten dikelilingi pegunungan, ditambah jarak antar rumah yang relatif jauh. Secara logika, kalau kita bicara pelan siapa yang mau dengar?”
Fikri menghela nafas, “Kalau diperhatikan debus sebenarnya juga memperlihatkan pada kita bagaimana cara bertahan bukan menyerang, jadi tidak ada unsur kekejaman di dalamnya. Semua didesain untuk mempertahankan diri termasuk golok yang dibuat pendek dan tebal. Senjata khas itu sebenarnya untuk membantu  petani membuka lahan pertanian. Kalau dibandingkan dengan senjata khas lain, keris misalnya yang dapat mengacak-acak isi perut, tentu saja alat itu tidak bisa digunakan untuk menebang pohon. Tapi Bu, saya tidak bermaksud menjelekkan daerah lain, ini hanya perbandingan agar orang-orang tahu bahwa semua itu punya maksud dan tujuan.”
“Bagaimana dengan guna-guna?” kata ibu, “orang sering berpikir kalau santet, guna-guna, pesugihan, semua berasal dari Banten.”
Nggak ada yang tahu darimana asal-muasal itu semua, tapi masa lalu yang hitam tentang Banten membuat semua itu seakan menempel jadi satu paket, Bu. Tidak semua orang Banten mengerti cara-cara ilmu hitam seperti itu. Kami ini hidup dalam lingkungan religius. Ibu tahu, orang-orang yang memiliki keahlian kekebalan dalam debus atau pencak silat harus memenuhi banyak syarat, dan yang paling utama mereka harus punya iman yang kuat dan yakin pada ajaran Islam. Pantang bagi mereka minum minuman keras, judi, bermain wanita, apalagi mencuri. Jadi, dari luar saja mereka terlihat angker dan kejam, namun di dalamnya mereka punya kekuatan iman yang luar biasa.”
Ibu hanya mengangguk, entah setuju atau sedang mencari celah untuk menyerang Fikri dengan pertanyaan berikutnya. Tetapi, sejenak kami tenggelam dalam diam. Untuk mencairkan suasana kupersilakan Fikri menyeruput es tehnya.
“Diminum, Fik. Haus kan? Jangan pura-pura deh...”
“Hehe...tau aja kamu, Ris,” kata Fikri sambil menyeruput esnya sampai tandas.
“Wah...haus beneran nih temen kamu, Ris” kata ibu terkekeh. Aku sampai terkejut mendengarnya. Tatapan sinisnya mulai sirna dari wajah ibu.
“Seandainya saja ada teman kamu yang terkena teluh atau guna-guna yang ternyata kiriman dari Banten, apa yang kamu lakukan?” tanya ibu tiba-tiba, membuat wajahku kembali tegang. Anehnya Fikri tetap terlihat santai.
“Yang pasti bukan saya yang kirim, Bu...hehehe” jawabnya.
“Bagaimana kalau teman-temanmu memusuhi karena asalmu dari Banten, markasnya guna-guna, santet, dan teluh?”
Kali ini Fikri seperti berpikir keras. Wajahnya sedikit sendu mendengar pertanyaan ibu.
“Teman-teman saya semuanya cerdas, Bu. Saya yakin mereka tidak akan memusuhi saya hanya karena saya berasal dari Banten. Seseorang kan dinilai dari akhlak dan perilakunya bukan asal-muasalnya. Kalau ada orang iseng yang berbuat jahat dengan melakukan penyimpangan terhadap ilmu yang dia punya, bukan berarti semua orang Banten seperti itu kan, Bu?”
Ibu terdiam, kemudian kata Fikri lagi, “Hanya orang-orang yang berhati miskin saja yang menilai seseorang dari asal mereka.” Kali ini wajah ibu memerah.
“Lagipula, Bu, suatu ketika Banten akan menjadi kota yang sangat dinanti masyarakat.”
“Maksudnya?” kataku ikut bicara karena ibu terus terdiam.
“Suatu hari nanti orang akan sadar betapa Banten memiliki kekayaan yang tak ternilai. Mereka tidak akan lagi melihat Banten dari sisi yang gelap. Lihat saja, kami punya suku Baduy yang adat-istiadat bahkan kehidupannya tidak berubah dari zaman dahulu. Bukannya mereka primitif dan tak mau maju, tapi mereka adalah penyeimbang. Ketika kita terlarut dalam arus modernisasi kebudayaan barat maka mereka menjadi cermin untuk membawa kita agar melihat bagaimana dan darimana kita berasal.”
“Suatu hari nanti akan banyak bermunculan orang-orang jenius yang berasal dari Banten. Banten akan maju dengan keprimitifannya dalam berbudaya, akan terkenal dengan segala kearifannya menjaga alam, dan akan dirindukan karena masyarakatnya yang senantiasa terbuka.”
Kuperhatikan lagi riak wajah ibu. Tak ada gejolak atau pertentangan. Semua datar, dan aku tak tahu artinya. Kemudian ibu berpamitan untuk istirahat, namun sebelumnya sempat berkata sambil tersenyum, “Semoga Bantenmu kelak seperti yang kamu harapkan, Nak Fikri.” Aku dan Fikri ikut tersenyum.
***
Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar